Maesaroh meminta bantuan kepada para donatur dan pemerintah agar dapat memberikan pertolongan untuk bayinya. Bayi gizi buruk ini diharapkan bisa dirujuk ke luar daerah untuk perawatan yang lebih baik.
"Jualan es pak, keliling, gak punya BPJS, suami penghasilan 50 ribu perhari, ya dicukup-cukupin aja, kalo bantuan gak ada cuma pernah dapat BLT corona dulu. Pinginnya ada yang membantu kami untuk kesembuhan anak," ucap Maesaroh dengan lirih.
Pada kesempatan terpisah, Akbar Mulki Dokter Spesialis Umum di Puskesmas Labuan menjelaskan bahwa untuk menentukan anak gizi buruk atau tidak pihaknya membandingkan antara usia bayi dengan berat badannya, kemudian usia anak tersebut dengan tingginya, apakah sesuai atau tidak dengan grafik yang seharusnya.
"Kalau misalkan dia berada di garis merah berarti dia ada masalah dengan gizinya atau disebut dengan gizi buruk. Gizi buruk yang karena memang kurang protein atau gizi buruk karena kurang energi," ucapnya.
"Nah itu gejalanya berbeda, penanganannya pun berbeda. Seperti tadi misalnya, kelihatannya si anak gemuk tapi setelah ditimbang tidak sesuai dengan umur dan tinggi badannya. Itu biasanya gizi buruk karena kurang protein. Jadi isi badannya cuma air aja," sambungnya.
Menurutnya untuk penanganan masalah bayi tersebut perlu dilakukan serius multi sektor tidak hanya dari kesehatannya saja.
"Jadi menangani gizi buruk itu multi sektor, jadi gak hanya kesehatannya aja, si anak ini kekurangan protein biasanya dari asupan makanannya , keluarganya gak ada yang dimakan proteinnya. Karena bayi setelah umur 6 bulan itu udah mulai ada asupan makanan. Nah Begitu udah selain asi dan ada makanan tambahan. Jadi biasanya ada kaitan antara gizi buruk dengan status ekonomi kekuarganya," pungkasnya.
Editor : Iskandar Nasution