Jaksa Menjawab : Menyikapi Fenomena No Viral No Justice

Iskandar Nasution
Menyikapi Fenomena No VIral No Justice dalam program jaksa menjawab. Foto Istimewa

Oleh : Helena Octavianne S.H., M.H.

SURABAYA, iNewsPandeglang.id - Ungkapan no viral no justice, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya tidak viral tidak ada keadilan, saat ini tidak hanya sekadar menjadi jargon semata, tetapi juga strategi untuk mendapatkan keadilan.

Fenomena no viral no justice dapat mempengaruhi jalannya suatu kasus/perkara. Semakin disorot, semakin besar pula pressure yang diberikan publik kepada proses dan aparatur penegak hukum yang bekerja. Bahkan, putusan hakim dalam kasus/perkara viral kerap ditahbiskan sebagai keadilan substantif sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat.

Negatifitas no viral no justice yang pertama adalah memberikan standar ganda pada keadilan. Penanganan yang berbeda antara kasus/perkara viral dengan tidak viral jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, termasuk ke dalam perbuatan diskriminasi, yakni memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. 

Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang akan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Negatifitas no viral no justice yang kedua tidak menjamin dan memberikan perlindungan hukum. 

Seluruh informasi pribadi (bahkan aib) seseorang akan tersebar luas, meskipun muatannya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan asal usul sumbernya tidak diketahui. Padahal informasi privat bersifat rahasia dan harus tetap menjadi rahasia serta tidak boleh disebarluaskan secara sembrono. Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan informasi pribadi. 

Berdasarkan Pasal 12 UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, segala bentuk dokumen/informasi/gambar/audio visual yang terkandung dalam video atau foto yang tersebar, sekalipun diambil secara diam-diam (baca: tanpa izin) oleh orang lain, hak milik atas video atau foto tersebut tetap menjadi hak milik dari orang yang direkam atau hak cipta tetap ada pada orang yang direkam. 

Apabila disebarluaskan tanpa izin dan sepengetahuan si pemilik hak cipta, perbuatan tersebut termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang dapat dituntut secara hukum (vordering).

Viralisasi melalui media sosial secara tidak langsung membentuk mentalitas warganet Indonesia. Kemudahan untuk viralisasi mendorong orang untuk berlomba-lomba menjadi viral. Sehingga tidak sedikit yang mengedepankan kontroversi dalam usaha mereka.

Begitu mudahnya orang-orang menyalakan kamera ketika mereka menemui masalah di kehidupan sehari-hari. Padahal, tak semua masalah perlu didokumentasikan apalagi diunggah dengan tujuan mengejar viral.

Akselerisasi persebaran informasi menimbulkan masalah. Jaminan keaktualan suatu berita menjadi sulit dipastikan apalagi diperparah dengan mudahnya mengunggah kiriman di media sosial sesuka warganet. 

“In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes”, ungkapan Andy Warhol tersebut bak nubuat yang sekarang telah terbukti. Setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan ketenaran sesaat, baik ketenaran yang positif maupun negatif. 

Perlu kebijaksanaan sebagai pengguna media sosial agar tak latah mengunggah hal-hal yang berisiko menimbulkan keributan di dunia maya. "Karena kita tak pernah tahu, apa yang kita anggap benar, belum tentu dianggap benar pula oleh orang lain."

Di alam rimba bernama internet, yang menang adalah yang memiliki suara terbanyak tak peduli apakah yang didukung benar atau salah. Dibutuhkan ketelatenan untuk mengajarkan bagaimana menggunakan ponsel kepada banyak generasi

Editor : Iskandar Nasution

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network