PANDEGLANG, iNewsPandeglang.id - Bolehkah menggabung puasa Syawal dengan puasa Senin Kamis dimana keduanya adalah amalan puasa sunah?
Puasa Syawal selama enam hari selepas Ramadhan mempunyai keutamaan luar biasa hingga nilai ibadanya disetarakan dengan puasa setahun lamanya. Begitu pun puasa Senin Kamis telah dicontohkan Rasulullah.
Lantas apakah kedua amalan sunah itu dapat digabungkan lalu bagaimana dengan niatnya?
Paparan di bawah ini secara rinci dalil-dalil tentang menggabungkan puasa Syawal dan Senin Kamis serta niat-niatnya sebagai berikut.
Untuk menjelaskannya maka terlebih dahulu harus melihat jenis dan tujuan ibadahnya.
Pertama, jenis ibadah yang tujuannya jelas adalah ibadah yang maqsudah li dzatiha. Ini berarti keberadaan ibadah tersebut menjadi tujuan utama dari syariat. Contoh ibadah ini meliputi shalat wajib, puasa wajib, dan lain-lain, termasuk shalat witir dan shalat dhuha.
Termasuk dalam kategori ini juga ibadah yang disyariatkan khusus sebagai pelengkap, seperti shalat rawatib. Beberapa ulama juga memasukkan puasa enam hari di bulan Syawal ke dalam kategori ini.
Kedua, jenis ibadah yang tujuannya tidak begitu spesifik adalah ibadah yang laisa maqsudah li dzatiha. Dalam hal ini, tujuan utama dari syariat adalah untuk melakukan amalan tersebut pada kesempatan yang tersedia, tanpa memandang bentuk atau jenisnya.
Untuk membedakan apakah suatu ibadah termasuk dalam kategori maqsudah li dzatiha atau laisa maqsudah li dzatiha, kita perlu memahami konteks dan latar belakang dari dalil yang mengatur ibadah tersebut.
Referensi: Liqa’ al-Bab al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, volume 19, no. 51.
Mari kita lihat contoh yang disajikan oleh para ulama untuk memudahkan pemahaman kita.
Contoh pertama, shalat tahiyatul masjid.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai shalat 2 rakaat. (HR. Bukhari 1163)
Dalam hadis tersebut, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan untuk melaksanakan shalat 2 rakaat setiap kali memasuki masjid sebelum duduk. Ini mengindikasikan pentingnya tidak langsung duduk begitu memasuki masjid, melainkan melaksanakan shalat terlebih dahulu. Shalat yang dilakukan tidak harus khusus tahiyatul masjid, melainkan bisa berupa shalat qabliyah atau shalat sunah lainnya. Meski demikian, memilih untuk melaksanakan tahiyatul masjid juga diperbolehkan.
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa yang esensial adalah melaksanakan amalan shalat 2 rakaat saat memasuki masjid, bukan hanya khusus dengan tahiyatul masjid. Yang terpenting adalah melaksanakan ibadah shalat, dalam bentuk apapun, ketika memasuki masjid.
Contoh Kedua, puasa Senin-Kamis
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengapa beliau rajib puasa senin kamis, beliau mengatakan,
ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Di dua hari ini (senin – kamis), amalan dilaporkan kepada Allah, Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amalku dilaporkan, saya dalam kondisi puasa. (HR. Ahmad 21753, Nasai 2358, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadis ini, siapapun yang melakukan puasa di hari senin atau kamis, apapun bentuk puasanya, dia mendapatkan keutamaan sebagaimana hadis di atas. Amalnya dilaporkan kepada Allah, dalam kondisi dia berpuasa. Baik ketika itu dia sedang puasa wajib, atau puasa sunah lainnya. Meskipun boleh saja ketika dia melakukan puasa khusus di hari senin atau kamis.
Menggabungkan Niat Dua Ibadah
Dalam literatur ilmu agama, para ulama menyebutnya dengan istilah "at-Tasyrik fin Niyah" atau "Tadakhul an-Niyah", yang berarti menggabungkan niat.
Para ulama telah memberikan kaidah-kaidah terkait masalah menggabungkan niat.
إذا اتحد جنس العبادتين وأحدهما مراد لذاته والآخر ليس مرادا لذاته؛ فإن العبادتين تتداخلان
Jika ada dua ibadah yang sejenis, yang satu maqsudah li dzatiha dan satunya laisa maqsudah li dzatiha, maka dua ibadah ini memungkinkan untuk digabungkan. (’Asyru Masail fi Shaum Sitt min Syawal, Dr. Abdul Aziz ar-Rais, hlm. 17).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta