"Poin pentingnya, intinya kami kepingin sekali soal penangkapan benih lobster menjadi legal lagi. Sehingga tidak ada istilah sembunyi-sembunyi. Bahkan ada pengusaha-pengusaha yang selalu ditangkap," ujar Siti dalam dialog tersebut.
Menurut Siti, saat ini para nelayan di wilayahnya tidak bisa mengandalkan perekonomian keluarga dari hasil melaut yakni tangkapan ikan. Pasalnya selain perubahan cuaca, jumlah tangkapan ikan juga tidak menentu. Sedangkan kata dia, untuk benur jumlahnya lebih banyak dan lebih bernilai ekonomi tinggi. Namun sayangnya larangan tersebut membuatnya was-was setiap saat.
"Jadi, biar enggak keliatan bawa lobster pakai plastik hitam. Kalo (menangkap) benih lobster legal, lebih sejahtera lagi nelayan ini," tutur Siti.
Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Desa Muara, Ujang Hadi bahwa larangan ekspor benur ini sempat menimbulkan konflik antara warga dengan aparat. Sebab suatu hari, ada aparat yang hendak menangkap salah seorang nelayan di rumahnya.
"Tahun 2021 hampir dikerumuni massa. Karena penangkapanya saat itu di rumah, sehingga beliau (nelayan yang mau ditangkap) terus berteriak. Massa datang dan mau berkelahi (dengan aparat). Saya turun juga, Alhamdulillah dapat dicegah," ujarnya.
Karena itu, dia berharap kepada pemerintah untuk dapat meninjau kembali terkait larangan ekspor benur. Tidak hanya itu, penting juga memberikan pelatihan dan menyediakan teknologi budidaya lobster yang mumpuni.
"Sehingga benur tidak mubazir karena mati oleh predator, nelayan sejahtera, dan pemerintah pun dapat devisa," katanya penuh harap.
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait