JAKARTA, iNewsPandeglang.id – Kasus KDRT banyak terjadi di dalam sebuah pernikahan dan juga baru baru ini Masyarakat tengah dihebohkan dengan kasus KDRT Lesti Kejora yang dikakukan suaminya, Rizky Billar. Lesty Kejora kemudian memilih mencabut laporan kasus KDRT tersebut.
Salah satu alasan Lesti Kejora mencabut laporan KDRT karena dia menyakini suaminya akan bisa berubah dan juga Rizky Billar juga merupakan sosok ayah yang baik untuk anaknya. Namun jika dilihat dari segi psikologis benarkah pelaku KDRT bisa benar-benar berubah dan tidak kembali mengulangi tindakan kekerasan lagi?
Harus diketahui bahwa pemicu tindakan KDRT dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Namun yang paling umum tindak kekerasan terhadap pasangan maupun anggota keluarga sering muncul ketika seseorang merasa berkuasa atas korbannya.
Perasaan berkuasa tersebut bisa muncul karena adanya kekuatan fisik, status sosial, kekayaan, kemampuan memanipulasi emosi, maupun bentuk kekuasaan lainnya. Pelaku pun mengira dia berhak memperlakukan orang lain semaunya karena merasa lebih berkuasa. Parahnya lagi banyak pelaku kekerasan tidak menyadari bahwa tindakan mereka keliru dan merugikan orang lain.
KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) dapat pula muncul karena pelakunya memiliki masalah kesehatan mental, kepribadian narsistik, antisosial, maupun kebiasaan menyalahgunakan alkohol dan narkotika. Pelaku juga bisa melakukan KDRT karena pernah memperoleh kekerasan maupun pelecehan di masa lalu.
Menurut Amie Zarling, profesor dan psikolog klinis di Iowa State University, pada dasarnya kebiasaan KDRT tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Perilaku negatif tersebut bisa muncul karena akumulasi atau gabungan dari banyak hal. Khusus pada pria, Zarling mencontohkan, kekerasan merupakan cara untuk mengatasi emosi yang tidak menyenangkan, seperti perasaan rapuh, malu, cemburu maupun cemas.
“Kekerasan tidak hanya digunakan untuk mempertahankan dominasi pelaku atas korbannya. Tindakan kekerasan merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan yang mereka rasakan,” jkata Amie Zarling.
Lebih lanjut, Ellen Pence, dari Domestic Abuse Intervention Project (DAIP), sebuah program untuk mengurangi KDRT, mengungkapkan bahwa kekerasan yang didominasi pria muncul karena praktik menahun budaya patriarki. Hal ini mengacu pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan pemimpin utama dalam banyak hal. Sistem yang melanggengkan dominasi laki-laki tersebut melahirkan banyak bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pria.
Lantas, bisakah pelaku KDRT sembuh?
Menurut Ellen Pence, konstruksi sosial dan politik dari sistem patriarki yang mendarah daging selama ribuan tahun, membuat pria pelaku KDRT sulit menyembuhkan kebiasaan buruk mereka. Bahkan, Pence menyebut, perilaku kekerasaan tersebut tidak dapat dihilangkan dengan metode psikoterapi maupun konseling. “Sesi terapi dengan profesional rentan membuat pria pelaku KDRT melihat tindakan mereka hanya sebagai produk dari trauma masa lalu maupun masalah lain yang mereka alami,” katanya.
Ellen Pence juga mengatakan banyak pria pelaku KDRT melakukan kekerasan secara sadar. Mereka didorong pemahaman terkait haknya sebagai laki-laki yang selama ini diuntungkan oleh sistem patriarki. Hal ini terlepas dari latar belakang setiap pria.
Sementara itu, Psikolog Ikhsan Bella Persada M.Psi., juga mengamini bahwa pelaku kekerasan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin menghilangkan kebiasaan KDRT yang mereka lakukan. Pasalnya, tindak kekerasan, menurut Ikhsan, sudah bertransformasi menjadi perilaku dari kepribadian pelaku.
“Mereka punya agresivitas yang cukup kuat, sehingga ketika stres atau ada sesuatu yang tidak sesuai, maka agresivitasnya akan muncul dalam bentuk KDRT,” katanya.
Ikhsan menambahkan, kesulitan pelaku dalam mengontrol emosi juga bisa mendorong impulsivitas untuk melakukan KDRT terhadap pasangan. Terlebih, mereka yang melakukan KDRT mudah terbawa emosi, sehingga perilaku kekerasan yang muncul memang karena dorongan dari dalam dirinya.
Editor : Iskandar Nasution