LEBAK, iNewsPandeglang.id - Artis Wulan Guritno mengaku kasihan terhadap para nelayan di Lebak Selatan, Banten dengan kondisi perekonomiannya kian terpuruk. Para nelayan mengaku akibat penutupan larangan ekspor lobster dari benih bening lobster (BBL) atau benur.
Wulan Guritno turut hadir serta dalam kegiatan para nelayan dalam acara dialog antara nelayan dengan Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN) di Binangeun, Desa Muara, pada Sabtu (5/8/2023) lalu.
"Ya, silaturahmi aja lah, kita semua suka mendengar membaca, enggak cuman aku gitu. Jadi ya ada rasa penasaran dan terketuk juga hati, kasihan bener ya gitu (para nelayan). Jadi pengen tahu lebih dalam lagi enggak sekadar asumsi-asumsi atau dengar kiri kanan gitu, tetapi we do are on research," ucapnya saat ditemui.
Dikatakan Wulan, tak hanya membaca hasil penelitan orang, namun harus jadi pendengar dan pembaca yang pintar, namun menurutnya masyarakat yang pintar itu tidak asal melihat, tapi harus mencari tahu sendiri juga.
"Jadi mungkin saat ini aku sedang masa-masa aku untuk hal ini. Dari apa yang aku dengar dan baca jadi hati terpanggil dan ya udah mendengarkan langsung gitu dari para nelayan," tuturnya.
Dijelaskannya, keluh kesah para nelayan sebenarnya simpel, mereka yang notabene masyarakat Lebak, Banten yang mata pencahariannya menggantungkan dari hasil laut. Masyarakat nelayan sekarang ini kata Wulan merasa kalau nangkap ikan itu sudah tidak seperti dulu lagi tidak sesejahtera dulu lagi gitu.
"Jadi mereka sekarang ya miskin sekali gitu. Mereka itu kepingin legal lagi bisa nangkep BBL. BBL itu jadi kalau lobster itu, sebelum jadi lobster dewasa nih bibit dulu. Kenapa sih kok ikan udah nggak sejahtera dulu lagi mungkin tadi mereka menjelaskan karena cuaca angin dan lain sebagainya lah gitu," ucap artis sekaligus pemerhati nelayan ini.
"Nah jadi BBL ini satu-satunya harapan mereka untuk mereka bisa hidup sejahtera lagi makan untuk anakistrinya lagi kurang lebih seperti itu," sambungnya.
Meski demikian, dia mengatakan akan terus mempelajari juga kenapa BBL itu tidak boleh ditangkap oleh warga, masa kekayaan alam tidak boleh ditangkap oleh masyarakat sendiri dan digunakan dikelola oleh masyarakat. Banyak itu yang harus dipelajari yang secara yang masuk akal secara akademisnya juga.
Wulan saat itu menjadi narasumber dalam acara tersebut, selanjutnya kegiatan pelepasan bibit lobster di pantai untuk perkembangbiakan lobster.
Sebelumnya, Siti salah seorang istri nelayan mengaku kondisi perekonomiannya sempat membaik dan dapat merasakan perekonomian keluarganya meningkat saat menangkap benur dahulu sewaktu masih diperbolehkan. Namun seiring waktu muncul larangan ekspor benur, akhirnya perekonomian keluarga kembali terpuruk.
"Poin pentingnya, kami kepingin sekali soal penangkapan benih lobster menjadi legal lagi. Sehingga kita tidak ada istilah sembunyi-sembunyi. Terkadang ada pengusaha-pengusaha yang kerap ditangkap," ungkap Siti.
Kepala Desa Muara, Ujang Hadi mengaku terkait larangan ekspor benur ini pernah menyebabkan konflik antara warga dengan aparat. Pasalnya, saat itu suatu hari ada aparat yang akan menangkap salah seorang nelayan di rumahnya.
"Tahun 2021 hampir dikerumuni massa. Karena penangkapanya kala itu di rumah, sehingga beliau (nelayan yang mau ditangkap) tiba-tiba berteriak. Kemudian massa pun datang dan mau berkelahi (dengan aparat). Saya turun juga, Alhamdulillah bisa dicegah," katanya.
Dia pun berharap kepada pemerintah untuk dapat meninjau kembali terkait larangan ekspor benur. Selain itu, perlu juga memberikan pelatihan dan menyediakan teknologi budidaya lobster yang mumpuni, sehingga benur tidak mubazir akibat mati oleh predator, nelayan sejahtera dan pemerintah juga memperoleh devisa.
(EG)
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait