Dukungan itulah yang membuatnya semakin berupaya keras agar Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta mendapat kepercayaan masyarakat agar para orangtua percaya dan mau menguliahkan anaknya di Untirta.
“Saat itu, banyak yang mundur. Kami membuka Pendidikan Bahasa dan Sastra di Untirta pada 1986 dan pada 1991 jumlah mahasiswa menurun. Ketika Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta berdiri secara mandiri dan punya kekuatan hukum, saya kemudian bekerja sama dengan berbagai pihak seperti PGRI, koperasi, dan dinas pendidikan. Alhamdulillah pada 1994 kami memiliki mahasiswa di berbagai daerah sehingga uang kuliah dari mahasiswa waktu itu surplus,” jelas Prof Aceng.
Misi sebagai professor Meskipun kini sudah menyandang gelar profesor, menurut Prof Aceng, ada amanah yang harus terus ia jalankan. Sebagai lulusan yang diajar oleh dosen-dosen mumpuni di bidangnya, ia ingin mencetak guru-guru bahasa Indonesia yang memiliki kebanggaan dan keteladanan dalam memperjuangkan bahasa persatuan ini.
“Kalau tidak ada Bahasa Indonesia, mungkin agak sulit Indonesia ini bersatu. Suatu kekuatan yang luar biasa bahasa Indonesia dikuasai oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini adalah kebanggaan dan kami pun bersemangat untuk mengajarkannya. Semangat kebangsaan yang memang harus ditularkan,” katanya.
Kendati demikian, ia menilai, pengembangan ilmu bahasa Indonesia saat ini menemui banyak tantangan. Utamanya, di tengah penggunaan bahasa Indonesia yang bermacam-macam. Kemudian, diperkuat dengan semakin banyaknya media, serta kecerdasan bahasa asing yang ditunjukkan oleh para generasi muda saat ini.
Editor : Iskandar Nasution