PANDEGLANG, iNewsPandeglang.id – Di tengah era serba digital, tradisi pembuatan bedug masih hidup di Pandeglang, Banten. Adalah Saprudin, pria berusia 50 tahun asal Kampung Karang Tanjung, yang setia melestarikan kerajinan bedug selama lebih dari 45 tahun.
Bagi masyarakat Indonesia, bedug bukan sekadar alat penanda waktu salat, tapi juga simbol budaya Islam Nusantara. Di Pandeglang, bedug masih kerap dipasang di serambi masjid, menjadi primadona meski fungsinya mulai tergeser oleh pengeras suara digital.
Saprudin menekuni profesi ini sejak kecil, tepatnya usia 4 tahun, ketika dia belajar langsung dari orang tuanya. Hingga kini, tangannya sudah menghasilkan ribuan bedug untuk masjid, sekolah, pesantren, bahkan hingga ke luar negeri.
Bahan utamanya pun tak main-main. Saprudin memilih kayu kelapa tua, dipadukan dengan kulit kerbau atau sapi, yang diproses manual penuh ketelitian agar menghasilkan suara nyaring. Satu bedug biasanya selesai dalam 5–6 hari, dengan harga jual Rp4–5 juta tergantung ukuran.
Meski permintaan menurun akibat modernisasi, Saprudin tidak menyerah. Ia bahkan membuka pelatihan membuat bedug bagi generasi muda di desanya agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait