“Alhamdulillah saya merasa bersyukur banget, Pak, karena tidak disangka anak desa dari orang tua yang pedagang nasi goreng pun ternyata bisa menginjakkan kaki di kampus top dunia. Alhamdulillah, bersyukur sekali,” ucap Yani, tampak haru.
Tentang momen ketika ia menerima kabar diterima di Harvard, Yani mengungkapkan, “Ibu dan bapak serta keluarga saya di video call karena saat itu saya masih di Jakarta. Mereka sangat terharu.”
Yani juga berbagi pesan untuk anak-anak desa dan mereka yang merasa terbatas secara finansial. “Saya ingin anak desa dan anak-anak yang mungkin secara finansial tidak berkecukupan harus terus maju meraih mimpi. Keberhasilan itu untuk semua orang yang mau berjuang,” tegasnya.
Misi Yani tidak berhenti hanya pada kesuksesannya sendiri. Ia berkomitmen untuk terus membantu sesama. “Saya akan terus memberikan advokasi pendidikan yang setara dan membantu anak-anak desa untuk meraih pendidikan serta potensi tertinggi mereka,” tambahnya.
Kini, sebelum memulai kuliah S2 di Harvard pada Juni 2025, Yani lebih dulu akan mengikuti YSEALI Academic Fellowship Program di Northern Arizona University, AS, program bergengsi dari Kementerian Luar Negeri AS.
“Anak desa harus berani bermimpi besar. Garis takdir bisa diubah. Saya hanya ingin membuktikan bahwa semua orang bisa sukses jika mau berjuang,” ujar Yani menutup wawancara.
Kisah Muhamad Yani ini jadi pelajaran untuk kita, bukan hanya milik Pandeglang, tapi milik seluruh anak muda Indonesia yang percaya bahwa latar belakang bukanlah batas, melainkan pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait