"Bahasa Indonesia hari ini harus dipadukan dengan kenyataan kaidah lama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada bahasa tabu. Bahasa tabu itu harus dikaji betul mengapa orang tua dulu menyebut dengan satu kata saja, tapi efektif,” tuturnya.
Prof Aceng mencontohkan, ketika ingin melarang seseorang berdiri di depan pintu, cukup menyebut “pamali”. Jika tidak boleh bepergian di sore hari, cukup menyebut “sandekala”. Kemudian, katanya, ilmu bahasa Indonesia juga bisa dipadukan dengan ilmu lain, seperti ilmu kedokteran, biologi, sosiologi, dan psikologi. Sebagai contoh, saat dipadukan dengan ilmu psikologi menjadi psikolinguistik.
Selanjutnya, perpaduan ilmu bahasa Indonesia dengan sosiologi menjadi sosiolinguistik. “Nah, kalau itu dikaji (akan termasuk) ke dalam bahasan ilmiah. Pesan saya kepada teman-teman yang masih (menempuh pendidikan) S2 dan S3, hal-hal seperti itu terus harus dikaji dan bisa multidisiplin kajiannya. Dengan begitu, akan lebih menarik,” jelasnya.
Prof Aceng mengaku ingin menggaungkan hal tersebut dan menuliskannya menjadi sebuah kajian sehingga bisa masuk ke jurnal-jurnal internasional.
“(Dengan begitu) orang-orang (bisa) melihat budaya kita, bahasa kita. (Hal ini) akan menarik orang untuk lebih belajar dan mengkaji lagi bahasa Indonesia, yang menjadi kebanggaan kita semua,” tambah Prof Aceng.
Prof Aceng berharap, dengan predikat guru besar yang diberikan kepadanya, ilmu yang dimilikinya semakin meningkat, serta bisa bermanfaat dan memotivasi generasi muda agar lebih cepat menjadi guru besar seperti dirinya.
“Untirta punya target 20 persen (dosen menjadi guru besar). Jadi, kalau 20 persen dari 837 jumlah dosen di Untirta, berarti (sekitar) 160 (dosen) seharusnya sudah menyandang guru besar. Namun, saat ini, (target itu) belum tercapai. Jadi, harus kami kejar terus target itu,” pungkasnya.
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait