Salah seorang wali murid, Anah, mengungkapkan bahwa biaya-biaya tersebut sangat memberatkan. "Awalnya saya pikir sekolah negeri itu gratis. Tapi ternyata banyak pungutan, dari infaq hingga seragam yang tidak wajib. Saya saja sudah kewalahan untuk biaya sehari-hari," katanya saat ditemui pada Selas (19/11/2024).
Bahkan, ada siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu dan pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tetap diminta membayar infaq. Padahal, tidak ada aturan resmi yang mewajibkan hal tersebut. Situasi ini memicu pertanyaan di kalangan orang tua, mengapa siswa miskin yang seharusnya dibebaskan dari beban biaya masih harus membayar?
Menanggapi hal ini, Aan Andra Wijaya, Ketua Komite SMA Negeri 11, menyatakan bahwa semua pungutan sebenarnya bersifat sukarela. "Kami telah menyampaikan kepada wali murid bahwa pembayaran dapat dilakukan sesuai kemampuan masing-masing.. Bahkan, ada siswa yang sudah lulus tapi belum melunasi pembayaran,” katanya.
Namun, ia mengaku tidak mengetahui adanya laporan tentang penahanan ijazah atau tekanan kepada siswa untuk membayar infaq.
Sementara Humas SMA Negeri 11, Enjat Sudrajat, juga menegaskan bahwa pungutan tidak wajib. “Pungutan ini sukarela. Tapi kami akui, sekitar 60 persen siswa di sini berasal dari keluarga kurang mampu,” jelasnya.
Enjat menambahkan bahwa pihak sekolah akan mengkaji ulang kebijakan pungutan jika memang terbukti memberatkan.
Wali murid berharap sekolah lebih memahami kondisi ekonomi mereka dan tidak membebankan pungutan yang terlalu besar. Mereka meminta agar pungutan-pungutan ini benar-benar dilakukan atas dasar sukarela, tanpa ada tekanan atau ancaman kepada siswa.
Kebijakan ini diharapkan dapat segera ditinjau ulang agar tidak lagi memberatkan para orang tua, sehingga pendidikan di sekolah negeri benar-benar bisa diakses oleh semua kalangan.
Editor : Iskandar Nasution