Biang Kerok Penyebab Transisi EBT di Indonesia Lambat

Ikhsan Permana
Biang Kerok Penyebab Transisi EBT di Indonesia Lambat. (Foto Okezone)

JAKARTA, iNewsPandeglang.id – Transisi energi terbarukan di Indonesia masih mengalami hambatan. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO) Fathul Nugroho mengatakan, transisi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih terkendala, artinya masih belum optimal.

 

Menurutnya ada lima hal yang dianggap menghambat transisi menuju EBT di Indonesia. Yang pertama Menurutnya adalah paket kebijakan dan Undang-Undang (UU) EBT yang belum kunjung disahkan.

 

"Sampai saat ini masih digodok di DPR dan menurut saya ini perlu dipercepat," ujarnya dalam Webinar Strategi Pelabuhan Internasional dalam Krisis dan Transisi Energi, Selasa (30/8/2022).

 

Dia mencontohkan UU No.4 tahun 2009 tentang minerba yang dianggap sukses mempercepat hilirisasi row material sehingga memiliki nilai tambah.

 

"Menurut saya di sektor EBT perlu segera didorong adanya UU EBT sehingga perencanaan dan juga arah Policy dari pengembangan EBT ini menjadi lebih terarah dan juga lebih terukur," pungkasnya.

 

Dia menambahkan, faktor yang kedua adalah feed in tariff yang diberikan oleh pemerintah dinilai masih kurang. Menurutnya harga beli yang ditetapkan oleh pemerintah masih rendah.

 

"Di kami ada bahkan ditawar hingga USD5,8 sen per kWh menurut kami ini sangat jauh kalau di Eropa itu bisa masih lebih dari sekitar USD9 sen bahkan belasan sen per kWh," ungkapnya.

 

Kemudian faktor ketiga adalah EBT Indonesia masih sangat bergantung terhadap impor.

 

"Ini perlu kita push melalui UU nantinya katakanlah solar panel harus diproduksi di dalam negeri, sehingga mendorong industri pembangkit EBT di Indonesia," terangnya.

 

Sedangkan yang keempat menurut Fathul adalah masih minim financing khusus EBT. Seharusnya, tambahnya, ada semacam green bound, perusahaan-perusahaan yang mengembangkan EBT.

 

Yang terakhir yakni harga EBT masih belum kompetitif dibandingkan dengan harga energi fosil.

 

"Sebetulnya dengan krisis hari ini dimana energi fosil harganya menjadi tinggi, BBM pertalite keekonomiannya mencapai Rp 17.000 sampai Rp19.000 per liter ini sebetulnya menjadi signal bagi pemerintah dan juga bagi pemain EBT bahwa kali ini harga EBT bisa jadi lebih murah dibandingkan dengan energi fosil," paparnya.

 

 

Editor : Iskandar Nasution

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network