Mau Berobat Tak Punya Ongkos: Potret Nestapa Warga Huntara Cigobang Lebak 5 Tahun Pascabencana

LEBAK, iNewsPandeglang.id - Lima tahun pascabencana banjir bandang dan longsor, warga Huntara Cigobang di Lebak masih hidup dalam keterbatasan. Tak hanya tinggal di hunian sementara yang tak layak, banyak di antara mereka bahkan tak mampu berobat karena tak punya ongkos ke rumah sakit.
Salah satu kisah memilukan datang dari Komar, warga Huntara Cigobang yang menderita penyakit paru-paru. Kondisi Komar lemah tinggal di ruangan sempit, ditemani istrinya, Hamsinah, dan bayi mereka yang masih kecil saat ditemui pada Selasa (13/5/2025).
"Ini lagi sakit ya, Pak?" tanya kami saat menyambangi huntaranya.
"Iya, lagi sakit. Paru-paru, Mas," jawab Komar lirih, sambil sesekali batuk.
Komar mengaku sudah berobat ke puskesmas selama enam bulan, lalu lanjut ke dokter praktik, dan akhirnya dirujuk ke RSUD di Rangkasbitung. Di sana, paru-parunya sempat disedot cairannya, tapi batuk tak juga hilang.
"Kata dokter sih tinggal bekas luka (dalam paru-paru). Disuruh istirahat aja, tapi ya batuknya masih terus," ujarnya.
Pengobatan memang ditanggung BPJS. Tapi kendala besar bagi Komar adalah ongkos untuk pergi ke rumah sakit. Ia tak punya kendaraan, bahkan untuk meminjam pun sulit.
“Harus berobat lagi. Tapi sekarang saya udah berhenti. Karena saya nggak punya biaya buat keberangkatan,” ucap Komar pelan.
“Kalau ke rumah sakit sih gratis. Tapi nggak punya ongkos buat ke sana. Nggak punya motor, mobil,” tambahnya.
Dulu Komar bekerja sebagai kuli bangunan. Tapi kini, tubuhnya tak lagi kuat mengangkat beban berat.
“Habis dari air aja, batu dikit, udah nggak kuat,” katanya sambil memegangi dadanya.
Kini, ia tak punya pekerjaan tetap. Namun ia tak tinggal diam. Demi anak-anaknya, Komar berusaha tetap mencari penghasilan dengan berjualan makanan ringan.
“Paling ya jualan basreng buat anak-anak. Makanan ringan. Itu aja sekarang,” tuturnya sambil menatap Hamsinah, istrinya, yang sedang menenangkan bayi mereka di sudut huntara.
Komar sempat sembuh dari penyakit paru-parunya saat masih tinggal di kampung. Tapi sejak tinggal di huntara yang penuh debu, penyakit itu kambuh lagi.
“Mungkin karena debu. Kaya kerja proyek aja, bangunan berdebu. Akhirnya kambuh,” jelasnya.
Hamsinah hanya bisa berharap ada bantuan dan kepedulian dari pemerintah agar suaminya bisa sembuh dan anak mereka bisa hidup lebih layak.
“Saya cuma pengen suami saya sembuh. Kami juga pengen tinggal di rumah yang layak, bukan di huntara terus,” katanya lirih.
Cerita pilu juga datang dari Odah (50), penyintas bencana yang masih ingat betul detik-detik kampungnya dihantam longsor.
“Saya lari cuma pakai baju tidur. Rumah dan sawah saya habis semua,” kenangnya.
Odah tinggal di huntara yang atapnya bocor dan dindingnya lapuk. Ia bersama warga lain sudah lima tahun menunggu janji relokasi, tapi belum ada kepastian.
“Kami udah capek nunggu. Katanya mau dipindahin, tapi sampai sekarang belum jelas. Tanah relokasinya aja kami cari sendiri,” keluhnya.
Tak hanya tempat tinggal, kebutuhan dasar seperti air bersih pun sulit. Warga harus antre sejak subuh untuk mengambil air dari sawah atau menampung air hujan.
“Kalau hujan, airnya kami tampung buat minum. Kalau enggak, ya antre dari pagi,” kata Sani, warga lainnya.
Total ada 177 kepala keluarga (525 jiwa) yang masih tinggal di Huntara Cigobang. Dari jumlah tersebut salah satunya Komar penyintas huntara 2 yang sudah tidak bekerja dan menggantungkan hidup dari bantuan atau usaha kecil-kecilan.
“Presidennya sama, bupatinya dari keluarga yang sama. Tapi nasib kami beda. Di tempat lain udah dibangunkan rumah, kami masih nunggu di huntara,” pungkas Sani.
Editor : Iskandar Nasution