Oleh: Helena Octavianne SH.MH
JAKARTA, iNewsPandeglang.id - Hashtag 'No Viral, No Justice' di beberapa sosial media yang menyoroti sejumlah penanganan perkara penegakan hukum Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi fenomena di tengah kehidupan masyarakat.
Era digital, kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi publik, media sosial dijadikan wadah penyaluran aspirasi atas pelayanan dan penegakan hukum lembaga negara di bidang hukum.
Ungkapan No Viral No Justice, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya tidak viral tidak ada keadilan, saat ini tidak hanya sekadar menjadi jargon semata, tetapi juga strategi untuk mendapatkan keadilan.
Fenomena No Viral No Justice bisa mempengaruhi jalannya suatu kasus atau perkara. Makin disorot, semakin besar pressure, dukungan ataupun tekanan yang diberikan publik terhadap proses dan aparatur penegak hukum yang bekerja.
Bahkan, putusan hakim dalam kasus atau perkara viral sering diahbiskan sebagai keadilan substantif. Publik menilai adanya kebuntuan dalam pemenuhan keadilan hukum.
Publik tidak peduli kebenarannya, asalkan peristiwa itu viral untuk mendapat perhatian khalayak luas. Namun, hal tersebut justru bisa merugikan diri mereka sendiri ketika harus berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Penggunaan media sosial sebagai ruang publik yang tiada sekat, ruang, waktu dan batas. Publik dengan sangat mudah diprovokasi dan diintimidasi dengan hal-hal berbau kesenjangan, kriminalisasi, diskriminasi, terzalimi serta hal negatif lainnya.
Fenomena 'No Viral No Justice' cenderung bersifat sistemik. Ini adalah akibat atau hasil dari tanpa adanya perencanaan/perhitungan bagaimana membentuk ekspansi pergerakan. Sebab, masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang diviralkan cenderung akan lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang dimulai dengan laporan biasa.
Helena Octavianne, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan Sumber Daya Manusia, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Foto Istimewa
Mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital yang berujung menjadi pressure group (penekanan) terhadap lembaga atau instansi yang bersangkutan.
Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum harus menangkap positif ruang publik dan media sosia yang dipenuhi dengan berbagai macam karakter masyarakat. Maka dari itu, suka ataupun tidak, Kejaksaan harus terlibat didalamnya agar cepat, tepat dan akurat dalam merespon setiap kejadian.
Sebab, jika terlambat dalam merespon peristiwa yang ada, maka bisa menjadi bumerang, bahkan merusak citra Kejaksaan. Untuk itu, kemajuan era digitalisasi ini harus dimaknai sebagai perkembangan positif, terutama bagi para Jaksa dalam penanganan setiap perkara, serta responsif terhadap setiap peristiwa.
Tidak hanya itu, setiap kejadian viral dapat dijadikan bahan intropeksi untuk melakukan tindakan nyata, sehingga publik percaya bahwa hal yang dilakukan oleh Kejaksaan sesuai dengan koridor hukum dan tuntutan masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh Helena Octavianne, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan Sumber Daya Manusia, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, tinggal di Jakarta
(EG)
Editor : Iskandar Nasution
Artikel Terkait